Minggu, 29 Mei 2011

Petani, Tanah dan Padi Tak Berisi

Syair Sore yang Tak Sempat Ku Tembangkan..

Di ciptakan dengan tanah...

Hidup di atas tanah...
Di kuburkan di dalam tanah...

Kitab suci dan sejarah telah mencatat betapa intimnya hubungan manusia dengan tanah... seperti kaki yang tak pernah bosan menginjaknya...
Dari apa yang keluar, tumbuh dan berdiri di atas tanah, manusia mendapatkan dan menikmati hasilnya...!!!

Semua boleh tumbuh di atasnya..

Semua boleh menginjaknya..

Semua harus memilikinya..



Tapi jangan kau serakahi..!!

Menggugat Sejarah yang Searah

Oleh: Ide Bagus Arief Setiawan

Tempus mutantur, et nos mutamur in illid. Waktu berubah, dan kita (ikut) berubah juga didalamnya. Begitulah  pepatah Latin kuno mengatakan tentang kehidupan manusia dengan kedinamisan dan akal budi yang terus berubah. Waktu terus berjalan dan berubah, maka cara-cara  manusia mengekspresikan dirinya - menelusuri jejak pencarian makna dari apa yang tercecer dan tertinggal di belakang gerbong waktu bernama sejarahpun ikut berubah. Dengan alam pikir dan rasa, karsa dan cipta yang dimiliki, manusia harus mampu menjawab kebutuhan dan tantangan yang secara inheren terus mengalami perubahan. Jika dikatakan tidak ada yang tetap dalam kehidupan di dunia ini, mungkin yang tetap hanyalah perubahan itu sendiri[1].

Karakteristik manusia sebagai makhluk yang menyejarah, membuatnya terus-menerus berubah dari masa ke masa. Meninggalkan kejayaan, merasakan kahancuran, memperjuangkan kemakmuran sekaligus terjebak dalam lubang kesengsaraan. Selalu ada khasanah dan kearifan yang tertinggal dari puing-puing masa lalu. Disinilah kita harus membangun “kuil kemanusiaan” dari reruntuhan masa lalu. Sebuah “kuil” yang merepresentasikan sebuah mozaik kehidupan yang “kaya”, kehidupan yang memahami sejarah sebagai “harta warisan” yang di tinggalkan masa lalu dan hidup bersama sejarah hari ini.

Nilai-nilai dan kearifan yang termaktub dalam “kitab suci” bernama “masa lalu” menjadi sesuatu yang sangat penting untuk dipelajari. Karena sejarah dengan totalitas komprehensif yang menyusun seluruh kehidupan sosial sebuah masyarakat adalah nyata adanya. Catatan panjang masa lalu, mulai dari catatan tentang orang-orang pertama yang menghuni gugusan pulau yang dikemudian hari di namai Nusantara, sampai catatan tentang anak-anak muda yang bersumpah untuk satu nusa, satu bangsa, satu bahasa tidak sebatas menjadi identitas asal-usul belaka, tetapi juga sebagai modal untuk merefleksikan dan memetakan masa depan Indonesia yang lebih Indonesia.


Serpihan bagi masa lalu tapi bongkahan besar bagi sejarah kita saat ini

Sebuah bangsa yang dengan peralatan seadanya mampu membuat bangunan sebesar dan semagah Borobudur. Mahakarya Borobudur membuat kita harus mengerutkan dahi, menjawab sendiri pertanyaan; apakah tidak ada arkeologi pengetahuan sainstifik yang ditinggalkan selain tumpukan-tumpukan batu Borobudur? Diamanakah rumus fisika arsitektur Borobudur terkubur? Bukankah tumpukan-tumpukan batu tersebut adalah bukti “keluarnya” nenek moyang kita dari ketidakmatangan yang ada pada dirinya? Jika kenyataan sejarahnya setelah Borobudur Jawa sebagai sebuah peradaban sempat “terkubur”, bukti dan sumber-sumber sejarah mana yang menjelaskan penanda pertama terputusnya ilmu pengetahuan local secara radiakal yang selama berabad-abad tumbuh-berkembang di Nusantara?

Di ruang-ruang kuliah seringkali kita berdiskusi guna menjawab dan menganalisis pertanyaan “hubungan apa yang bisa ditarik dari dua peristiwa yang terpisah?” “kontinuitas apa yang ada di antara peristiwa-peristiwa tersebut?” “karena secara metodologis: sejarah dengan manusia atau masyarakat sebagai basisnya akan mengikuti bentuk kurva waktu yang evolusioner, bergerak dari bentuk yang paling sederhana menuju bentuk yang paling kompleks.” Sejarah menjadi hasil dari gambaran tentang fakta dan sumber sejarah. Di fase ini periodeisasi sejarah di maksudkan sebagai perekat antar peristiwa dan menjaganya dari keretakan-keretakan. Sejarawan tak lebih dari  “tukang las” yang harus puas hanya dengan menghubung-sambungkan ikatan-ikatan antar peristiwa.

Dengan sumber-sumber dan fakta yang melingkupinya, sejarah di pandang seakan-akan menjadi disiplin ilmu yang membentuk satu perlindungan terakhir dari pola dialektika. Perkembangan wilayah-wilayah Indonesia dengan segala pranata sosial dan ekologi yang dimilikinya menjadi contoh. Pasang surut wilayah-wilayah tersebutdari periode ke periode di anggap sebagai sesuatu yang lumrah dan menjadi bagian dari proses dialektis, dimana manusia-manusia Indonesia berlindung di balik “tembok keniscayaan sejarah” yang tak terhindarkan. Seperti yang diungkapan Michel Foucault dalam salah satu wawancaranya:
Saya kira sejarah sudah menjadi obyek sakralisasi yang aneh. Bagi banyak intelektual (sejarawan,red) jarak, keterbukaan, dan penghargaan konservatifnya bagi sejarah merupakan jalan yang paling sederhana untuk menggabungkan kesadaran politik dengan riset atau aktivitas menulis  mereka. Di bawah tanda pertentangan sejarah,  semua wacana berubah menjadi doa pada Tuhan penyebab segala sesuatu.[2]

Keniscayaan yang direpresentasikan sebagai periodeisasi yang berlanjut dari  Hindu-Budha ke masa feodalis menuju kolonialisasi terus berevolusi sampai proklamisi 17 Agustus 1945 yang oleh para pendiri bangsa dinamai Republik Indonesia. Kini, kita menjadi bangsa yang memahami kemajuan dalam  bentuk apapun di yakini sebagai suatu usaha menuju Modernisasi. Pembangunan, sumber daya alam serta kebijakan apapun dipersembahkan untuk “jalan modernisasi” yang akan mengantarkan kita pada kemajuan. Apakah modernisasi menjadi pilihan terakhir untuk sebuah kemajuan? Atau kamajuan yang selalu di personifikasikan dengan modernisasi?

Transformasi di bidang sejarah memang belum banyak dikenal dan direfleksikan. Seakan-akan sangat sulit memformulasikan satu teory tentang diskontinuitas, patahan-patahn dan batasan yang terdiferensiasi dalam sejarah, hanya karena di dalam sejarah manusia berusaha melacak kembali masa lalu mereka sendiri. Di lapangan sejarah, seakan kita menjadi “orang-sejarawan” yang menarik garis ketersambungan-lurus ke belakang, menata kembali masa lalu serta berusaha mencari sumber abadi dari kehidupan kekinian.

Pelajaran apa yang bisa kita peroleh, misalnya dari sejarah berkembang dan matinya kota-kota di sepanjang pantai utara Jawa (Jalan raya Pos-Deandles)? Kemunduran yang di alami kota-kota di pesisir pantai utara Jawa? (kecuali tiga kota peng-utama: Jakarta, Semarang dan Surabaya). Atas nama proses, kedinamisan, perkembangan dan segala yang melintas waktu, sejarah menjadi perlindungan manusia hari ini dari kegagalan masa lalunya.

Sejarah tidak hanya mencatat dirinya sebagai perubahan, namun dengan sejarah sebagai catatan masa lalu juga harus mampu menjadi media pencarian ketidakidentikan waktu serta selubung pengetahuan yang tertutup puing-puing peristiwa, hal itu menjadi mungkin jika sejarah sendiri yang mampu membongkar sela’an dan diskontinuitasnya.

Seringkali kita enggan menerima perbedaan, ketidakajegan, keacakan atau memisah-misahkan bentuk-bentuk yang identik-mapan. Kita menjadi takut dan khawatir akan datangnya “yang lain bin aneh” di dalam sejarah kita. Sehingga kita sangat kesulitan membentuk satu teory atau menggambarkan seluruh implikasi konsep batasan, diskontinuitas/mutasi dan rangkaian-rangkaian lain yang mungkin terjadi. Sumpah Palapa Gadjah Mada ; Saya (Saya bukan Kita!!) tidak akan bersenang-senang sebelum Nusantara di persatukan bukan semata-mata catatan milik Madjapahit. Ada suatu pengetahuan dan gagasan yang tertinggal dari Palapa dan terus hidup melampaui waktu walau sejarah sebagai mesin waktu meninggalkan dan menguburkan Amukti Palapa sang Maha Patih bersama reruntuhan istana Madjapahit. Palapa adalah gagasan perjuangan mesianis pertama. Gagasan yang di kemudian hari di gunakan dalam perjuangan melawan kolonial Belanda di beberapa wilayah. Diponegoro menjadi salah satu “murid tak terbai’at” Gadjah Mada yang mengamini sekaligus menganut gagasan Mesianis Palapa.

Jika sejarah dalam ketersambungan dan kontinuitasnya tidak menawarkan sintesa-sintesa yang dapat di terapkan dalam kehidupan hari ini serta tidak membimbing kita dalam meraih masa depan, berarti sejarah telah “membangkaikan kemanusiaan” mengingkari hakikatnya sebagai tempat kes-ada-ran. Ketika sejarah tidak berbentuk bagian-bagian tetapi berbentuk perkembangan, ketika sejarah bukan tentang tarik ulur relasi tetapi tentang dinamika internal, ketika sejarah bukan tentang sebuah pola, namun tentang sebuah usaha terus menerus dari kesadaran untuk kembali kepada dirinya sendiri, sejarah yang menjadi jembatan peradaban.


Penindasan itu ibarat pabrik! produknya adalah sejarah, sebagai proses pembentukan ingatan masyarakat tertindas, dimana mereka  menjadi bahan baku sekaligus konsumennya (Manipol FPPI)

Realita sejarah mencatat kita sebagai bangsa terjajah dan bangsa yang hidup di alam feodalisme selama ratusan tahun sekaligus sebagai bangsa yang di eksploitasi oleh bangsa asing serta di “abdikan” oleh bangsa sendiri. Sejarah panjang ini, membuat kita tahu bahwa rakyat Indonesia sudah sangat-sangat lama hidup dalam suatu steelsel yang sangat eksploitatif. Pertanyaannya kemudian, refleksi seperti apa yang bisa kita lakukan dengan setumpuk catatan masa lalu??

Kita dapat memulainya dengan memahami Indonesia sebagai; pertama Negara “berkat”, kedua melewati steelsel yang sangat lama, ketiga alienasi rakyat Indonesia dari kesadaran sejarahnya. Karena secara tidak sadar ada sebuah ketertindasan panjang dalam sejarah Nusantara. Dilihat dari banyak sisi, lagi-lagi dalam penjelasan-penjelasan historys, selalu ada semacam kesepakatan yang menegaskan  Indonesia dalam proses menjadinya sebagai bangsa yang serba “berkat”. “Berkat” pengaruh India kita mengenal tulisan, “berkat” kolonialisasi Belanda kita mengenal sistem irigasi modern, mengenal konsep kekuasaan serta struktur hierarkis kerajaan “berkat” gagasan yang datang dari India dengan tradisi Hindu dan Budhanya (dari Kutai sampai Majapahit).

Sejarah yang tidak terputus-putus (atau di paksa tidak putus,red) adalah sebuah history phobia, pikiran yang meyakini bahwa apa yang telah luput dari mereka bisa dikembalikan lagi; sebuah kepastian bahwa apa yang telah berlalu bersama waktu akan kembali di tata dalam bentuk kesatuan. Layaknya sebuah janji dari sang waktu; bahwa suatu hari nanti “kita” sebagai subjek (dalam kesadaran historys) akan di pertemukan oleh masa lalu dalam keterceceran masa lalu, dan  kitapun menerima lagi enjoy dengan keterceceran itu.

Dalam ranah pencarian asal-usul dan dalam lingkup sejarah yang hidup, terus menerus dan terbuka, maka “isak tangis” akan terdengar ketika seseorang/sejarawan sedang membunuh sejarah dalam sebuah analisa historys.  Terutama ketika berkaitan dengan sejarah pemikiran, ide dan pengetahuan. Tetapi bukan berarti menyalahkan seseorang/sejarawan tersebut, karena yang semestinya di tangisi bukanlah hilangnya sejarah, akan tetapi pudarnya rona sejarah yang berubah dari History menjadi His-Story, dengan cara “membacakan mantra-mantra sejarah” dihadapan manusia segala hal yang selama ratusan tahun tersembunyi darinya.

Terasingnya rakyat Indonesia dari kesadaran sejarahnya yang tercecer di sepanjang jalan ...menjadi Indonesia, menjadi penjelasan bahwa sebenarnya ketertindasan itu tidak bisa dibaca dan difahami mulai dari masuknya imperialis Eropa pada tahun 1511 M saja. Analisa ketertindasan yang hanya dimulai sejak masuknya Eropa hanya menghasilkan pembebasan negara tanpa mampu secara utuh membebaskan bangsa dan rakyatnya dari mimpi buruk keterasingan dan ketertindasan.
Sejarah mencatatku sebagai bangsa terjajah
Tapi sejarah yang akan membebaskanku dari penjajahan!!



Daftar Pustaka

Al-Fayyadl, Muhammad, Derrida, Yogyakarta : LKiS 2006
Craib, Ian Teory-Teory Sosial Modern dari Parsons sampai Habermas, Jakarta: Rajawali Press, 1992
Foucault, Michel, Epistemologi dan Metodologi Kumpulan Essay dan Wawancara Michel Foucault,  Yogyakarta : Jalasutra, 2004
______________ , Menggugat Sejarah Ide, Yogyakarta : IRCiSoD 2002
Front Perjuangan Pemuda Indonesia, Manifesto Politik Front Perjuangan Pemuda Indonesia, Jakarta, 2000
Grondin, Jean, Sejarah Hermeneutik dari Plato sampai Gadamer, Yogyakarta : Ar-Ruzz Media 2007
Harland, Richard, Superstrukturalisme, Yogyakarta : Jalasutra 2006
Magnis, Frans, S., Pijar-Pijar Filsafat, Yogyakarta : Kanisius 2005
Muzir, Ridwan, Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gadamer, Yogyakarta : Ar-ruzz Media 2008
Saptawasana, Bima dkk, Teory-teory Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 2005






[1] Saptawasana, Bima dkk, Teory-teory Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 2005) hal. vi
[2] Michel Foucault, Epistemologi dan Metodologi Kumpulan Essay dan Wawancara Michel Foucault,  (Yogyakarta, Jalasutra, 2004)