Selasa, 21 Juni 2011

Nasib TKI: Murah Upahnya-Murah Nyawanya

Kabar  duka datang dari Arab Saudi. Di negara milik Raja Abdullah Bin Abdul Aziz itu salah satu bunga pertiwi yang menjadi Buruh Migran disana harus meregang nyawa karena dihukum pancung oleh pemerintah Arab Saudi.  Ruyati, seorang pahlawan devisa asal Bekasi ini dieksekusi algojo kerajaan Arab Saudi. Ruyati yang pergi ke Saudi demi memenuhi kebutuhan hidup keluarganya ini dituduh membunuh majikannya awal 2010 lalu. Mahkamah Agung kerajaan Arab Saudi memutusan bahwa Ruyati dijatuhi hukuman pancung pada Sabtu 18 Juni 2011 kemarin di kota Makkah. Peristiwa ini terjadi tidak berselang lama dengan pidato Susilo Bambang Yudhoyono di Sidang ILO ke 100 di Markas PBB, Swiss, yang disambut standing applause dari peserta sidang. Sayangnya, Ruyati–sekali lagi– menjadi bukti bahwa apa yang dipidatokan oleh Presiden adalah omong kosong dan negara terbukti gagal melindungi warganya.

Seharusnya hukum pancung yang diterima Ruyati tidak perlu terjadi, jika pemerintah mau belajar dari kasus-kasus hukuman mati yang sebelumnya dialami banyak Buruh Migran di Arab Saudi. Kematian Ruyati jadi bukti bahwa pemerintah SBY-Boediono melalui Menakertrans dan BNP2TKI tidak sungguh-sungguh melindungi para Buruh Migran. Dalam kasus Ruyati, seluruh aparatus negara mulai dari KBRI di Saudi sampai Menteri Luar Negeri tidak berfungsi sama sekali. Ruyati dibiarkan seorang diri berhadap-hadapan dengan hukum yang tidak memposisikan dirinya sebagai masyarakat dunia yang berhak dilindungi kemanusiaanya. Didepan tiang pancung Ruyati kehilangan ke-Indonesiaannya, sebab ia diperlakukan seperti tidak punya negara, tidak ada yang membela.

Dengan kewenangan dan kekuatan yang dimiliki, pemerintah seharusnya peduli dan melindungi warga negaranya yang banting tulang-peras keringat di negeri orang. Jika melihat negara lain yang melindungi dan membela warga negaranya ketika terancam keselamatannya atau berurusan dengan hukum di negara lain, bahkan sekalipun melakukan kesalahan. Kita jadi teringat buruknya kinerja dan pengelolaan Buruh Migran Indonesia; mulai dari regulasinya, penempatan kerja hingga manajemen advokasinya. Kasus Ruyati juga menjadi cermin, betapa pemerintah yang berkuasa saat ini tidak mempunyai posisi tawar ketika hendak membela warganya sendiri. Karena itu kami mempertanyakan kembali dimana tanggung jawab Kementerian Luar Negeri, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) juga Kementerian Hukum dan HAM.

Kasus Ruyati tidak bisa dilihat semata kasus pidana biasa sebagaimana disampaikan oleh Ketua BNP2TKI Jumhur Hidayat dalam salah satu wawancara dengan media atau cukup dengan pernyataan Menakertrans Muhaimin Iskandar yang akan memenuhi hak-hak almarhumah Ruyati. Kasus Ruyati harus dilihat sebagai akibat dari absennya negara, pudarnya peran aparatus negara dan gagalnya rezim yang berkuasa dalam menjamin keselamatan dan kesejahteraan warga negaranya. Kemiskinan akibat sempitnya lapangan pekerjaan dan murahnya upah  kerja di dalam negeri menjadi alasan utama kenapa banyak anak negeri nekad mengadu nasib di negara lain. Pemerintah SBY-Boediono gagal mensejahterakan rakyat di dalam negeri juga gagal melindungi warga negaranya di luar negeri.

Kematian Ruyati menambah daftar panjang kelalaian pemerintah SBY-Boediono yang gagal menjaga harkat dan martabat bangsa. Dari data yang dihimpun oleh Metrotvnews.com, hingga tanggal 19 Juni 2011 tercatat sudah 28 rakyat pekerja Indonesia yang dihukum pancung di Arab Saudi. Belum lagi tindak kekerasan mulai dari penganiayaan sampai pemerkosaan yang kerap dilakukan oleh para majikan kepada para Buruh Migran Indonesia. Kondisi dan perlakuan yang diterima para Buruh Migran di negeri orang kian mengukuhkan predikat Indonesia sebagai negeri kuli. Kuli di negeri sendiri, budak di negeri orang. Tragis. Tapi pemerintah sengaja menciptakan kondisi tersebut. Sementara Ruyati gagal dilindungi keselamatannya ketika harus menerima hukuman mati di luar negeri, ternyata pemerintah juga tidak bisa memulangkan para koruptor yang kabur ke luar negeri. Persoalan-persoalan terkait kebijakan luar negeri tersebut mengingatkan kita bahwa ada problem billateral yang disebabkan oleh semi-kolonialnya negara ketika berhadap-hadapan dengan kekuatan dari luar.

Kedaulatan negara sudah dijual, wajar jika produk unggulannya ialah ekspor kuli. Kemandirian negara sudah terkubur, sebab output pendidikannya adalah buruh murah. Kepribadian bangsa sudah luntur, karena pemimpinya para koruptor. Harkat-martabat bangsa dan negara jadi taruhan. Rakyat tidak sudi dipimpin oleh rezim boneka yang bermental pengecut, gemar berbohong, ahli korupsi dan menindas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar