Senin, 06 Juni 2011

Sejarah Pers Rakyat

Pasca Reformasi dan kejatuhan rezim otoriterian Soeharto, pers Indonesia memasuki babak baru. Suatu periode kebebasan pers yang dijamin tidak semata oleh Undang-Undang, tetapi juga oleh pasar. Satu perkembangan yang bermuara pada satu tahapan yang bisa jadi tidak dikehendaki oleh pers itu sendiri. Dipoin inilah menjadi perlu kiranya bagi kita untuk melihat dengan seksama sebelum dan sesudah pers ada di periode ini.

Mengurai perjalanan pers di Indonesia tentunya harus kembali membuka lipatan-lipatan sejarah yang melingkupinya. Pertanyaan apa dan siapa pers pernah menjadi perdebatan para jurnalis pra dan pasca Indonesia merdeka. Hasilnya; rumusan definitif bahwa pers bukan semata komunikasi bukan juga sekedar informasi. Ikhwal apa yang mempertemukan mereka di lapangan perdebatan; pertama, apa asas kebenaran dari pers. Kedua, karakter politik, sosial, ekonomi dan budaya seperti apa yang dipegang oleh pers. Ketiga, pilihan lain diluar informan dan komunikator sebagai lanjutan dari penghormatan atas nilai-nilai perjuangan.

Ketiganya merupakan rumusan yang menjadi fondasi pers di Indonesia. Asas kebenaran dari pers merupakan satu sikap sejarah yang tidak dimaknai semata sadar zaman, lebih dari sikap sejarah –sikap kritis sejarah. Bukan sekedar “beda” dengan pers pemerintah kolonial, bukan ingin menyaingi pers orang-orang Cina yang lebih dulu, tetapi merupakan kebutuhan. Sesuatu yang harus dipenuhi sebagai syarat wajib untuk menumbuhkan dan meneguhkan kemerdekaan. Itulah asas kebenaran dari pers.

Dalam arti sempit, pers adalah media cetak yang mencakup surat kabar, koran, majalah, tabloid, dan buletin-buletin sebagai media komunikasi. Di dalamnya informasi ditulis kemudian disampaikan-sampai pada para pembaca. Pesan atau informasi bukan sesuatu yang kosong tanpa makna. Kekuatan kata-kata, kehadirannya mewakili “ada” yang tak terbatas. Seorang jurnalis pengaruhnya bisa melebihi seorang pendakwah. Pengatahuan dan informasi yang disampaikan seorang jurnalis sering melebihi ceramah guru-dosen di ruang kelas. Karakter sosial, ekonomi,politik dan kebudayaan pers tercermin dari apa yang disampaikan dalam pemberitaan. Membangunkan, menidurkan atau malah membingungkan?

Bekerja sebagai jurnalis sejatinya sama seperti bekerja sebagai buruh upahan, mekanis. Pekerjaan yang seharusnya mennjadi media penemuan tiap-tiap individu atas kemanusiaannya, justru sempit pilihan. Seperti tidak ada menemukan pilihan ketiga; antara sebagai informan dan komunikator. Pekerjaan sebagai jurnalis justru membangkaikan kemanusiaan, ketika model kerjanya bersifat robotik. Menyampaikan informasi dengan menjadi komunikator, selesai. Padahal, jika berpegang pada asas kebenaran dari pers dan karakter pers, maka jalan ketiga yang harus ditempuh seorang jurnalis ialah dengan menjadi propagandis. Semaoen pernah bekerja sebagai kontributor disebuah surat kabar yang terbit di Surabaya. Sebagai komunikator, Ia menyampaikan informasi sekaligus juga meng-agitasi.

Zaman berubah, Semaoen sudah bersemayam di dalam tanah. Tak ada lagi Tirto Adi Soerjo, Mas Marco pun tinggal cerita. Selabaran dan pamflet bukan zamannya. Jika mereka semua merumuskan apa dan siapa pers, kita punya tanggung jawab untuk menjawab rumusan kemana dan bagaimana pers?

Jika belajar dari era represif zaman Soeharto dan realitas hari ini, kita akan sama-sama insaf, banyak media massa yang dulu dibredel, kini ketika ada di era kebebasan pers justru menjadi kepanjangan tangan dari kekuatan-kekuatan politik ekonomi yang kontra-kerakyatan. Mewartakan bukan semata memberitakan. Pers harus kembali kepada khittah-nya sebagai alat pendobrak kebuntuan. Bukan korban kebuntuan.

Garis demarkasi yang membatasi kerja pers dengan massa-rakyat harus segera dihapus. Mengawinkan pengetahuan dengan sejarah yang dikontekstualisasikan dengan kondisi objektif Rakyat merupakan pekerjaan rumah seluruh pekerja pers. Pemberitaan yang normatif harus diganti dengan perspektif pemberitaan yang berlatar kesadaran kelas, kesadaran kerja, kesadaran sejarah dan penghormatan nilai-nilai. Sebagai penutup, kutipan dari Pramoedya Ananta Toer berikut semoga bisa menjadi obat kegelisahan "...soalnya memang kertas-kertas yang lebih bisa dipercaya. Lebih bisa dipercaya daripada mulut penulisnya sendiri”.
Salam Panjang Juang!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar